MENIKMATI PUISI "DI BAWAH CEMARA" KARYA ZAMHIR ARIFIN
/1/
Zamhir Arifin Penyair Pekanbaru ini lahir 20 Februari 1975 di Desa Rempak, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak Provinsi Riau. Zamhir Arifin mengawali pendidikannya di SDN 005 Desa Rempak tamat 1989, lalu ke MTS YAPTI Rempak tamat 1992, Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadiin Bandar Sungai tamat 1995. Berikut melanjutkan S1 di IAIN SUAQA Pekanbaru, jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), fakultas Dakwah tamat 2001. Kemudian menyelesaikan S2 di Universitas Riau (UR) Jurusan Ilmu Administrasi, Kekhususan Pengembangan Sumber Daya Manusia tamat tahun 2012.
Penyair kita yang satu ini adalah seorang yang supersibuk. Dalam kesibukannya sebagai PNS Kemementerian Agama Kota Pekanbaru Bagian Pengurusan Haji sekaligus Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah Nurul Huda, Ia juga aktif dalam berbagai organisasi. Antara lain pernah aktif sebagai Ketua Umum mahasiswa Sungai Apit, Ketua Mahasiswa Siak, Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah. Koordinator IAIN Aliansi Mahasiswa Peduli Kapubaten Siak, Pimpinan Umum Gema Dakwah, Pimpinan Perusahaan Tabloid Titah Senat Fakultas Dakwah.
Bukan itu saja, ternyata ia juga aktif sebagai Pengurus MUI, Forum Silaturrahmi Masyarakat Tenanayan Raya, Kelompok Kerja Diniyah Taklimiyah, Majlis dakwah Islamiyah Pemuda Remaja Mesjid, dan Dewan Masjid Dunia Melayu Islam. Termasuk juga menjadi panitia pemilihan di Kecamatan untuk pemilihan gubernur Riau 2013-1018. yang baru di lantik tangal 4 Maret 2013 ini. Dan heibatnya lagi di sela-sela kesibukan itu ia juga rajin menulis dan memposting puisi di jejaring sosial Facebook dunia maya. Salah satunya yang akan kita nikmati bersama adalah adalah puisinya yang dipostingnya pada pada 2 Desember 2012 pukul 4:20. yang berjudul DI BAWAH CEMARA.
/II/
di bawah cemara
di bawah cemara kita berbincang
di mulut sumur tua
yang tuannya entah kemana
matahari berbaris , merah
angin menghembuskan bisik
terdengar parau suaranya
orang-orang melintas
dari kejauhan yang lelah
dan seekor laba-laba singgah
di bawah cemara kita memerun rindu
tak sempat berkaca
hingga solekmu kering ditelan senja
Pekanbaru, 2 Des 12
Puisi yang berjudul di bawah cemara karya Zamhir Arifin ini tampil dengan tipografi yang terdiri dari 4 bait terzina. Karena setiap terzina itu hanya terdiri dari 3 larik saja, maka pusi ini semua lariknya berjumlah 12 larik. Di samping itu puisi ini semua lariknya juga ditulis tanpa menggunakan huruf kapital termasuk juga penulisan judulnya.
Puisi ini dibangun dengan ungkapan yang indah dan puitis tetapi sulit ditebak maknanya. Hal ini ditandai dengan diksi dan ungkapan matahari berbaris, angin menghembuskan bisik parau suaranya, seekor laba-laba singgah, solekmu kering ditelan senja. Dan ada satu ungkapan yang nampaknya dari awal hingga akhir seakan-akan tak terungkapkan yaitu di bawah cemara kita berbincang. Berbincang masalah apa?
Melihat diksi dan ungkapan yang sulit ditebak itu, maka pusi ini dapat kita masukan ke dalam koridor puisi prismatis. Tetapi bukan berarti puisi ini puisi gelap, justru kekuatan puisi ini ada pada ungkapan-ungkapannya yang sulit ditebak itu. Ungkapan-ungkapan tsb bagaikan cahaya aneka warna pelangi yang hanya nampak terang benderang melalui kaca prisma. Inilah yang terjadi pada puisi ini, untuk mengetahui lebih dalam aneka makna dan pesan moral yang ada di dalamnya, diperlukan alat yang fungsinya sama dengan kaca prisma tsb. Salah satunya adalah lewat esai ini.
Untuk lebih menghayati, menikmati dan memahami puisi ini, marilah kita cermati bersama. Dan marilah kita awali dengan mencermati bait 1 berikut ini.
1. di bawah cemara kita berbincang
2. di mulut sumur tua
3. yang tuannya entah kemana
Bait 1 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang indah dan puitis.Hal ini ditandai dengan ungkapan di bawah cemara kita berbincang, di mulut sumur tua dan ungkapan yang tuannya entah kemana. Bait ini diawali dengan larik di bawah cemara kita berbincang. Kata cemara mengingatkan kita pada pohon yang bisa tumbuh di mana saja. Pohon cemara ini bisa tumbuh di bukit bersalju, di dataran rendah, termasuk juga di pesisir-pesisir pantai. Pohon cemara ini juga multi fungsi. Bisa digunakan dalam banyak hal, termasuk juga dalam upacara natalan. Berikut diiringi dengan klausa kita berbincang. Kata berbincang di sini maksudnya tentu adalah berbicara bersama, membicarakan sesuatu. Mengacu pada sifat dan fungsi cemara tsb. tentu berbincang-bincang di sini maksudnya adalah membicarakan banyak hal. Termasuk juga membicarakan taktis dan strategis melawan issu meresahkan yang berkembang di masyarakat.
Di larik 2 ada klausa di mulut sumur tua. Kata sumur mengingatkan kita pada isi dan fungsi sumur tsb. Yang jelas sumur itu isinya adalah air. Bagi banyak orang sumur itu dulunya adalah salah satu sumber mata air yang sangat berguna untuk keperluan hidup sehari-hari. Air sumur itu digunakan untuk keperluan mandi, wudhu, mencuci pakaian dan berbagai peralatan lainnya. Frasa sumur tua menandakan bahwa sumur itu sudah ada sejak lama dan barangkali kini sudah tidak berfungsi lain. Hal ini ditandai dengan untaian kata di larik 3 yang tuannya entah kemana.
Ungkapan yang tuannya entah kemana menandakan bahwa sumur itu tidak berada di samping atau di belakang rumah, tetapi berada di alam terbuka. Karena sumur yang berada di lingkungan rumah tentu ada pemiliknya. Minimal pemilik sumur yang baru. Bahkan barangkali sumur itu sudah tak ada lagi, karena menyesuaikan dengan gaya dan cara hidup pemilik rumah. Jikapun masih ada tentu fungsinya sudah berubah menjadi bagian dari seni pertamanan rumah. Berdasarkan paparan ini maka di bawah cemara kita berbincang di mulut sumur tua yang tuannya entah kemana maksudnya adalah melalui puisi ini banyak hal diperbincangakan meliputi berbagai masalah yang terjadi belakangan ini. Dan bisa jadi yang dibicarakan pun masalah lama yang kini hanya tinggal kenangan.
Secara denotatif bait ini memang benar-benar membicarakan tentang orang yang berbincang-bincang di bawah pohon cemara yang tumbuh di sekitar mulut sumur tua yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Tetapi secara konotatif bait 1 ini maknanya bisa berarti lain.
Bait 1 ini dibangun dengan rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata berbincang di larik 1 yang bersajak tidak sempurna dengan kata tua di larik 2 dan kata kemana di larik 3. Di sini juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [i/di] pada klausa di bawah di awal larik 1 yang bersajak dengan klausa di mulut sumur di awal larik 2. Di larik 1 ada rima aliteras yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [b] pada kata bawah yang bersajak dengan kata berbincang. Di larik 2 ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada mulut yang bersajak dengan kata sumur dan kata tua. Di larik 3 ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [e] pada kata entah yang bersajak dengan kata kemana.
Bait ini juga dibangun dengan imaji visual dan imaji auditif. Di mana kita seakan benar-benar melihat dan mendengar orang yang sedang berbincang-bincang satu sama lain di mulut sumur tua yang sudah ditinggalkan pemiliknya.
Bait ini juga sepenuhnya dibangun dan diperindah dengan majas perifrase yang ditandai dengan penggunaan ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek. Bait ini juga dibangun dengan majas inverse yang ditandai dengan cara mendahulukan keterangan tempat sebelum subyeknya [kita].
Marilah kita cermati bersama bait 2 berikut ini.
4. matahari berbaris, merah
5. angin menghembuskan bisik
6. terdengar parau suaranya
Bait 2 ini meski dibangun dengan diksi dan ungkapan yang sulit ditebak, tetapi diksi dan ungkapannya tetap terasa begitu indah dan puitis. Hal ini ditandai dengan ungkapan matahari berbaris, merah di larik 4. Di larik 5 ada ungkapan angin menghembuskan bisik dan di larik 6 ada ungkapan terdengar parau suaranya.
Klausa matahari berbaris, merah secara denotatif maknanya adalah benar-benar beberapa matahari yang berbaris yang membiaskan warna merah menyala. Tentu itu bukan arti yang sebenarnya, karena kita belum pernah bahkan tak akan pernah melihat ada beberapa matahari yang berbaris. Sebab matahari yang kita lihat itu hanya satu. Berarti matahari ini hanya ungkapan atau kiasan yang harus kita maknai secara khusus. Dan ungkapan ini sifatnya ambiguitas dan bisa dimaknai dari berbagai arah. Tergantung dari arah mana kita memaknainya.
Kata Matahari sendiri mengingatkan kita pada sumber cahaya sebagai pemberi cahaya di siang hari. Bisa juga dimaknai matahari adalah raja atau penguasa di siang hari. Apakah hal ini ada kaitannya dengan yang diperbincangkan di bawah cemara di mulut sumur di atas? Dalam konteks ungkapan matahari berbaris, ini ada kaitannya dengan ajang pemilihan pemimpin baru. Bisa jadi pemilihan ketua RT/RW, ketua organisasi, ketua partai. Termasuk juga pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Ungkapan Matahari berbaris itu maknanya adalah para calon yang bersaing dalam memberikan cahaya.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah ungkapan memberikan cahaya itu sendiri bisa bermakna ganda. Bisa positif dan bisa pula negatif. Dikatakan positif jika cahaya yang dipancarkan itu berupa program dan bukan janji palsu. Tetapi benar-benar program dan janji yang bakal mensejahterakan rakyat. Dikatakan negatif jika cahaya yang dibagikan itu berupa money-politic dan hanya janji palsu yang justru mencelakakan rakyat. Sedangkan kata merah maknanya adalah warna panas. Itu artinya persaingan yang semakin keujung semakin memanas. Dalam hal ini tentu matahari yang berbaris itu nantinya hanya ada satu matahari yang sebagai pemberi cahaya sejati. Dengan kata lain hanya salah satu calonnya yang akan terpilih menjadi ketua RT/RW, ketua organisasi, ketua partai, kepala daerah dan kepala negara.
Berikut ada ungkapan angin menghembuskan bisik. Secara denotatif ungkapan angin menghembuskan bisik ini maknanya memang benar-benar angin yang berhembus yang terdengar seakan-akan berbisik. Tetapi secara konotatif bisa berarti lain. Kata angin mengingatkan kita pada ungkapan kabar angin. Dengan demikian ungkapan angin menghembuskan bisik maknanya adalah kabar yang sedang beredar di masyarakat. Hal ini diperkuat lagi dengan ungkapan terdengar parau suaranya. Sedangkan ungkapan parau suaranya mengingatkan kita pada suara yang parau karena terlalu banyak bicara. Di satu sisi ini bisa berarti suara para jurkam yang hampir kehabisan suara. Tetapi di sisi yang lain ini bisa berarti kabar itu sudah tersebar ke mana-mana dan sudah terdengar di mana-mana. Pertanyannya adalah kabar apakah itu? Kabar itu adalah berita-berita hangat belakangan ini yang banyak ditayangkan di layar tv di media cetak lainnya.
Bait 2 ini dibangun rima tengah yang unik. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [e] pada kata berbaris di tengah larik 4 yang bersajak dengan kata menghembuskan di tengah larik 5. Dan kedua kata ini nampaknya masih bersajak dengan kata terdengar di awal larik 6. Di bait 2 ini juga dibangun dengan rima aliterasi yang ditandai dengan pegunglangan bunyi konsonan [r] pada kata matahari di awal larik 4 yang bersajak dengan kata berbaris dan kata merah di akhir larik. Demikian pula di larik 6 yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata terdengar yang bersajak dengan kata parau dan kata suaranya di ujung larik.
Bait 2 ini juga dibangun dengan imaji taktil di mana kita seakan benar-benar merasa panasnya sengatan cahaya matahari yang ditandai dengan ungkapan matahari berbaris, merah. Dapatkah kita bayangkan bagaimana panasnya jika ada beberapa matahari yang berbaris, masing-masing menyenburkan panasdanya. Di bait ini kita juga seakan turut merasakan dinginnya angin yang berhembus. Bait 2 inin juga dibangun dengan imaji auditif. Di mana kita seakan mendengar bunyi hembusan angin yang berbisik seakan suara yang parau.
Bait 2 ini juga diperkuat dan diperindah dengan majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan matahari berbaris, angin menghembuskan bisik dan ungkapan terdengar parau suaranya. Sedangkan di larik 4 ada majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan matahari berbaris, panas. Berikut di larik 6 ada majas inverse yang ditandai dengan susunan kalimat yang mendahulukan klausa terdengar parau yang berfungsi sebagai predikat sebelum kata suaranya yang berfungsi sebagai subyeknya.
Marilah kita cermati bersama bait 3 berikut ini.
7. orang-orang melintas
8. dari kejauhan yang lelah
9. dan seekor laba-laba singgah
Bait 3 ini juga dibangun dengan kiasan perumpamaan dengan diksi dan ungkapan yang indah dan puitis. Marilah kita resapi bersama rangkaian diksi dan ungkapan tsb dalam orang-orang melintas dari kejauhan yang lelah dan seekor laba-laba singgah. Ungkapan ini terbagi menjadi dua sub kalimat, yaitu orang-orang melintas dari kejauhan yang lelah dan ada seekor laba-laba singgah. Secara denotatif seekor laba-laba di sini maknanya memang benar-benar seekor laba-laba. Tetapi secara kononatif bisa berarti lain. Kata laba-laba sendiri mengingatkan kita pada jaring laba-laba sebuah jebakan maut yang mengerikan bagi binatang yang terjaring.
Sepintas lalu bait 3 ini hanya membicarakan tentang orang-orang melintas dari kejauhan yang lelah dan seekor laba-laba singgah. Tetapi ketika di telisik lebih dalam lagi ternyata ini adalah warning atau peringatan agar kita harus berhati dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Karena orang-orang melintas dari kejauhan yang lelah itu adalah kita sendiri yang melintasi lintasan hidup dan kehidupan kita masing-masing. Bukankah sudah banyak orang-orang yang terjebak? Baik disengaja maupun yang tidak disengaja. Siapa tahu ada laba-laba yang datang membuat jaring dan siap menunggu siapa saja yang terjerat di jaring tsb.
Bait 3 ini dibangun dengan rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi [a/ah] pada kata lelah di larik 8 yang bersajak dengan kata singgah di larik 9. Dan kata itu juga bersajak tidak sempurna dengan kata melintas di larik 7 yang sama-sama ada bunyi vokal [a]. Di sini juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan konsonan [d] pada kata dari di awal larik 8 yang bersajak dengan kata dan di awal larik 9.
Bait 3 ini juga dibangun dengan imaji visual. Di mana kita seakan benar-benar melihat orang-orang melintas dari kejauhan yang lelah Dan kita seakan benar-benar melihat seekor laba-laba singgah di suatu tempat.
Marilah kita cermati bersama bait 4 berikut ini.
10. di bawah cemara kita memerun rindu
11. tak sempat berkaca
12. hingga solekmu kering ditelan senja
Bait 4 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan bernuansa rindu. Hal ini ditandai dengan ungkapan di bawah cemara kita memerun rindu. Sedangkan kata memerun ini mengingatkan kita pada kebiasaan masyarakat Melayu Riau memerun sampah, yaitu kebiasaan membakar sampah. Kata memerun sendiri asal katanya adalah perun mendapat awalan me menjadi memerun yang artinya adalah membakar. Dengan demikian memerun rindu artinya adalah mambakar rindu yang maksudnya adalah mencurahkan rasa rindu yang lama terpendam di hati. Secara denotatif ungkapan memerun rindu ini maknanya memang benar-benar pencurahkan rindu seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi secara konotatif maknanya bisa lain. Yang dirindu itu bisa apa saja. Misalnya sesuatu barang, atau bisa jadi jabatan yang telah lama diidam-idamkan. Begitu kesampaian justru menjadi kebablasan yang menimbulkan masalah baru.
Berikutnya diiringi dengan ungkapan tak sempat berkaca dan dilanjutkan dengan ungkapan hingga solekmu kering ditelan senja. Secara denotatif berkaca maknanya memang benar-benar berkaca. Sedangkan secara konotatif berkaca maknanya adalah mengintropeksi diri. Berikut ada ungkapan hingga solekmu kering ditelan senja. Kata bersolek itu bersinonim dengan berdandan yang maksudnya adalah memperanggun dan mempercantik diri. Secara konotatif berdandan maksudnya adalah memperbaiki keadaan sehinga menjadi lebih baik. Sedangkan kata senja mengingatkan kita bahwa siang akan berganti dengan malam. Tak sempat berkaca hingga solekmu kering ditelan senja ungkapan ini bisa mengacu pada seseorang pemangku jabatan. Ya jabatan apa saja. Pemegang jabatan dalam organisasi, partai, perusahaan, atau bahkan kepala daerah. Yang keasikan mengambil kesempatan aji mumpung, menyalahgunakan jabatan dll. Sehingga belum sempat memperbaiki keadaan bersih-bersih diri, e ternyata waktunya sudah habis. Masih untung kalau tak terlibat kasus apa-apa. Kan banyak contoh di masyarakat tuh? Ada yang terkait masalah pelecehan wanita, terlibat masalah narkoba, masalah korupsi dll.
Bait 4 ini dibangun dengan rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi [a] pada kata berkaca di akhir larik 11 yang bersajak dengan kata senja di larik 12. Dan di sini juga ada rima awal yanhg ditandai dengan pengunangan bunyi vokal [i] pada kata di di awal larik 10 yang bersajak dengan kata hingga di awal larik 12. Di larik 10 ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata bawah yang bersajak dengan kata cemara dan kata kita. Di sini juga ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [r] pada cemara yang bersajak dengn kata memerun dan kata rindu.
Bait 4 ini juga dibangun dengan imaji visual. Di larik 10 kita seakan benar-benar melihat ada sepasang anak manusia sedang menumpahkan rasa rindu di bawah cemara, yang ditandai dengan ungkapan di bawah cemara kita memerun rindu. Dan di larik 11 kita seakan benar-benar melihat seseorang wanita ayu seadanya karena memang tak sempat berdandan yang ditandai dengan ungkapan tak sempat berkaca Dan di larik 12 kita seakan melihat seseorang yang sudah tak nampak lagi riasan wajahnya yang ditandai dengan ungkapan solekmu kering ditelan senja.
Jelasnya di bait 4 ini kita seakan-akan benar-benar melihat pertemuan sepasang manusia yang saling merindu yang lama terpendam sehingga si perempuan tak sempat lagi berkaca. Akibatnya berdandannya pun seadanya saja. Pertemuan di bawah cemara yang berlangsung hingga senja itu membuat dandanan yang seadanya itupun kering ditelan senja. Tetapi secara konotatif bisa bermakna lain.
Bait ini 4 ini juga sepenuhnya dibangun dan diperindah dengan majas perifrase yang ditandai dengan penggunaan ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek. Marilah kita resapi bersama perifrase ini: di bawah cemara kita memerun rindu, tak sempat berkaca hingga solekmu kering ditelan senja. Di larik 10 juga ada majas inverse yang ditandai dengan cara mendahulukan keterangan tempat di bawah cemara sebelum subyeknya kita memerun rindu.[kita]. Sedangkan larik 11 da l2 merup[aknsatu kesatuan majas elipsis yang ditandai dengan subyeknya kau yang sengaja dihilangkan pada untaian larik tak sempat berkaca hingga solekmu kering ditelan senja. Sejatinya subyek itu berada di awal larik 11. Sehingga lengkapnya adalah kau tak sempat berkaca hingga solekmu kering ditelan senja.
/III/
Puisi ini berjudul di bawah cemara yang di atas tadi sudah dinyatakan bahwa puisi ini adalah puisi prismatis yang ditandai dengan ungkapan-ungkapannya yang sulit ditebak itu. Di samping itu setelah kita membaca isi yang diungkapkan didalamnya, maka puisi ini juga adalah puisi deskriprif impresionistik yang mengungkapkan kesan penyair terhadap masalah yang terjadi di masyarakat belakangan ini. Sebagai puisi prismatis jika ungkapan-ungkapan tsb. telah terbuka maka kita akan menemukan berbagai hal yang tersaji dalan puisi ini. Layaknya sebuah pelangi yang memancarkan 7 warna pelangi maka puisi ini juga akan menyajikan berbagai pesan moral terselubung yang akan memancar dari tiap baitnya.
Di bait 1 kita menemukan amanat dan pesan moral bahwa melalui puisi ini banyak hal yang akan diperbincangkan meliputi berbagai masalah yang terjadi belakangan ini. Dan bisa jadi yang dibicarakan pun masalah lama yang kini hanya tinggal kenangan.
Di bait 2 kita menemukan amanat dan pesan moral yang terselubung bahwa ungkapan matahari berbaris itu maksudnya adalah ajang pemilihan pemimpin baru. Bisa jadi pemilihan ketua RT/RW, ketua organisasi, ketua partai. Termasuk juga pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Ungkapan Matahari berbaris itu maknanya adalah para calon yang bersaing dalam memberikan cahaya. Dalam konteks pemilihan kepala daerah ungkapan memberikan cahaya itu sendiri bisa bermakna ganda. Bisa positif dan bisa pula negatif. Dikatakan positif jika cahaya yang dipancarkan itu berupa program dan bukan janji palsu. Tetapi benar-benar program dan janji yang bakal mensejahterakan rakyat. Dikatakan negatif jika cahaya yang dibagikan itu berupa money-politic dan hanya janji palsu yang justru mencelakakan rakyat. Sedangkan kata merah maknanya adalah warna panas. Itu artinya persaingan yang semakin keujung semakin memanas. Dalam hal ini tentu matahari yang berbaris itu nantinya hanya ada satu matahari yang sebagai pemberi cahaya sejati. Dengan kata lain hanya salah satu calonnya yang akan terpilih menjadi ketua RT/RW, ketua organisasi, ketua partai, kepala daerah dan kepala negara.
Di bait 3 kita menemukan amanat dan pesan moral yang terselubung bahwa ungkapan tsb ternyata adalah warning atau peringatan agar kita harus berhati-hati dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Karena orang-orang melintas dari kejauhan yang lelah itu adalah kita sendiri. Informasi lain yang kita dapat adalah: sudah banyak orang-orang yang terjebak? Baik disengaja maupun yang tidak disengaja. Siapa tahu ada laba-laba yang datang membuat jaring dan siap menunggu siapa saja yang terjerat di jaring tsb.
Di bait 4 kita menemukan amanat dan pesan moral yang terselubung yaitu ungkapan memerun rindu. Selintas lalu ini adalah memang benar-benar pencurahkan rindu seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi ketika ditelisik dalam lagi ternyata yang dirindu itu bisa apa saja. Misalnya sesuatu barang, atau bisa jadi jabatan yang telah lama diidam-idamkan. Begitu kesampaian justru menjadi kebablasan yang menimbulkan masalah baru. Di bait 4 ini kita juga menemukan ungkapan Tak sempat berkaca hingga solekmu kering ditelan senja. Ungkapan ini bisa mengacu pada seseorang pemangku jabatan. Ya jabatan apa saja. Pemegang jabatan dalam organisasi, partai, perusahaan, atau bahkan kepala daerah. Pejabat yang keasikan mengambil kesempatan aji mumpung, menyalahgunakan jabatan dll. Sehingga belum sempat memperbaiki keadaan bersih-bersih diri, e ternyata waktunya sudah habis. Masih untung kalau tak terlibat kasus apa-apa. Kan banyak contoh di masyarakat tuh? Terdapat banyak kasus yang terkait masalah pelecehan wanita, terlibat masalah narkoba, masalah korupsi dll.
Menyimak dan memperhatikan paparan di atas, banyak pembelajaran yang dapat kita petik, salah satunya adalah: hendaknya kita jangan sampai kebablasan dalam menikmati apa yang telah kita dapatkan. Itulah kiranya amanat dan pesan moral yang ingin disampaikan penyairnya lewat puisi di bawah cemara ini.
Selamat menikmati
Banjarmasin, 07032013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar