Kamis, 07 April 2011

OTONOMI DAERAH DI RIAU DALAM PERSPEKTIF PERILAKU SOSIAL


A. LATAR BELAKANG

            Semenjak otonomi daerah digulirkan, maka kajian ini semakin menarik untuk disimak seperti menariknya pula ketika daerah dapat berupaya  untuk menggalakkan pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini dapat kita lihat, ketika diberlakukannya UU  Otonomi Daerah,  pembangunan daerah   mengalami perubahan wajah secara signifikan. Sehingga dapat kita pahami bahwa masalah otonomi daerah  senantiasa  menjadi perhatian yang menarik  untuk dibicarakan, baik di kalangan ilmuwan bidang pemerintahan, politisi dan para pengamat.
            Masalah otonomi daerah  merupakan hal yang hidup dan berkembang sepanjang masa sesuai dengan kebutuhan  dan perkembangan masyarakat. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah dapat diperluas atau dipersempit tergantung kepada  pertimbangan kepentingan Nasional dan kebijakan Pemerintah, semuanya dilakukan menurut prosedur dan ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku.
            Reformasi telah  membawa perubahan  yang sangat mendasar,  suatu perubahan  yang dipandang tidak mungkin, ternyata telah menjadi kenyataan. Kepemimpinan Soeharto yang dianggap tidak pernah berakhir, ternyata   harus berakhir dengan sangat menyakitkan. Reformasi dianggap telah mampu  melakukan perubahan, tanpa disadari  mulai menuntut korban seperti presiden yang terpilih  secara demokratis berakhir dengan tidak berjalan  secara normal.  Reformsi mulai dianggap sebagai alat untuk menekan  kelompok tertentu yang ditandai dengan pengerahan massa, demonstrasi, dan gaya premanisme.[1]
            Tidak dipungkiri lagi dalam perjalanannya ternyata otonomi daerah menimbulkan riak, meninggalkan kegamangan bahkan memunculkan  konflik dalam tatanan sosial, seperti ego daerah, sukuisme, sehingga sampai kepada kecemburuan sosial. Jadi, pada suatu sisi banyak kemajuan-kemajuan yang didapatkan, namun ternyata di sisi lain berdampak negatif pula.
            Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial,  manusia selalu dihadapkan pada masalah sosial yang pada hakekatnya  merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri, karena masalah sosial telah terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri, sebagai akibat dari hubungan-hubungannya dengan sesama manusia lainnya, dan sebagai akibat dari    tingkah laku manusia.[2]
            Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh setiap masyarakat tidaklah sama antara yang satu  dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan   tingkat perkembangan kebudayaan dan masyarakatnya, dan keadaan lingkungan alamnya di mana masyarakat itu hidup. Masalah – masalah tersebut dapat terwujud sebagai  masalah sosial, masalah moral,  poltik,   ekonomi, agama,  ataupun masalah-masalah lainnya.
            Yang membedakan masalah  sosial  dengan masalah-masalah lainnya adalah bahwa  masalah-masalah sosial  selalu ada kaitannya yang dekat dengan nilai-nilai  moral dan pranata sosial   serta selalu ada kaitannya dengan   hubungan manusia  dan dengan konteks normative di mana hubungan manusia  itu terwujud (Nisbet, 1961)[3]
            Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya pada hubungan antar individu dengan lingkungannya. Lingkungannya terdiri atas bermacam-macam obyek sosial  dan obyek non sosial.  Perbedaan pandangan  antara paradigma perilaku sosial dengan paradigma fakta sosial  terletak pada sumber pengendalian tingkah laku individu.[4]
            Otonomi daerah jelas telah memberikan dampak positif yang luar biasa, baik di segi pengembangan dan percepatan pembangunan derah maupun dalam kebebasan mengolah asset daerah. Akan tetapi pada sisi lain akibat otonomi daerah muncul pula gesekan-gesekan sosial, seperti isu putra derah, sukuisme, munculnya raja-raja kecil di daerah, bahkan  korupsi justru terjadi di daerah  serta dampak lainnya yang sesungguhnya itu sangat meresahkan kita. Pada akhirnya hal ini mencemaskan bangsa, karena banyak yang muncul kepermukaan persaingan yang tak sehat hanya mengatas namakan otonomi daerah.

B. RUMUSAN MASALAH
            Dalam penulisan ini rumusan masalah yang kentara dan dijadikan sebagai permasalahan adalah :
1.   Bagaimana  otonomi daerah di Riau dampaknya bagi perilaku sosial
2. Apa penyebab utama munculnya gejala sosil akibat diberlakukannya otonomi daerah  di Riau
3.  Apa upaya yang dapat dilakukan agar otonomi  daerah dapat dipahami secara benar

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk melihat sejauh mana imbas dari otonomi daerah di Riau dampak negatifnya dalam perilaku social.
2.  Sebagai syarat mata kuliah Otonomi dan Sumber Daya Manusia  program S 2
3. Sebagai upaya mempersiapkan tesis, sekiranya topik yang disajikan ini dapat dipertimbangkan untuk judul yang akan diangkat.

D. DEFINISI
1. Otonomi daerah : daerah, (yang memerintah dan mengurus daerah sendiri), pemerintah sendiri, atau dengan kata lain kewenangan penuh daerah.[5]
2. Dampak : Sesuatu yang dimungkinkan  sangat  mendatangkan akibat,  sebab-sebab yang membuat terjadinya sesuatu benturan[6]
3. Perspektif : kerangka dan cara memandang
4. Perilaku sosial: sikap dan sifat serta aktivitas emosional manusia
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa Otonomi Daerah di Riau Dampaknya dalam Perspektif Perilaku Sosial adalah  sebuah pemaparan tentang  pengaruh besar bagi perilaku dan perbuatan serta sikap manusia setelah diberlakukannya otonomi daerah khususnya di daerah Riau.

E. KERANGKA TEORITIS
            Otonomi daerah hendaknya  dapat menjadi perekat sekalipun daerah diberikan kewenangan,  bukan sebaliknya malah menimbulkan masalah. Agar penyelenggaraan otonomi daerah dapat berjalan dengan sebaik-bainya harus pula berpedoman pada penerapan perinsip-perinsip  organisasi. Organisasi dapat didefinisikan dalam berbagai rumusan,   akan tetapi secara perinsip  unsur-unsur yang menyertai pengertian organisasi dapat dirinci ke dalam lima unsur, masing-masing:
  1. adanya sekelompok orang yang mempunyai
  2. tujuan bersama, yang hanya dapat diselenggarakan dengan
  3. kerja sama atau usaha bersama antara anggota-anggota kelompok itu, supaya kerja sama berjalan   dengan baik dan teratur, maka diadakan
  4. pembagian kerja, dibawah
  5. Suatu pemimpin[7]
Dalam undang-undang Otonomi Daerah No 32 tahun 2004 Bab I pasal 5 disebutkan  otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom  untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan  dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [8]
Seiring dengan adanya otonomi daerah munculah berbagai fenomena baru dalam kehidupan masyarakat di tingkat lokal yaitu identitas daerah. Identitas daerah muncul   ketika adanya fanatisme daerah yakni munculnya isu anak daerah dan lain-lain yang semakin terbentuk dalam kehidupan sosial masyarakat ditingkat lokal. Otonomi daerah yang secara langsung telah berdampak pada menguatnya identitas kedaerahan, secara langsung pula telah berdampak pada masyarakat yakni membuat masyarakat terpolarisasi dalam simbol identitas daerah. Hal ini terlihat pada beberapa daerah terutama yang masyarakatnya majemuk yang secara langsung telah membawa dampak kepada pelaksanaan pemerintahan di tingkat lokal.[9]
            Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku  karena adanya dorongan   untuk memenuhi  kepentingannya. Kepentingan ini   sifatnya esensial bagi kelangsungan  hidup individu itu sendiri. Jika individu berhasil  dalam memenuhi  kepentingannya, maka ia akan merasa puas, dan sebaliknya kegagalan dalam   memenuhi kepentingan ini  akan banyak menimbulkan masalah  baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannnya.[10]
Dengan berpegang  kepada perinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi  kepentingannya,  maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan  oleh individu  didalam masyarakat pada hakekatnya  merupakan  manifestasi pemenuhan   dari kepentingan tersebut.
Pada umumnya secara psikologis dikenal adanya dua jenis  kepentingan  dalam diri individu   yaitu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan  biologis dan kebutuhan sosial/psikologis.   Oleh karena individu   mengandung arti bahwa   tidak ada dua orang individu  yang sama persis  didalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan  individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan-perbedaan tersebut  secara garis besar  disebabkan oleh dua factor, yaitu faktor pembawaan   dan lingkungan sosial sebagai  komponen utama bagi terbentuknya keunikan individu. Perbedaan pembawaan akan memungkinkan  perbedaan individu dalam hal kepentingannya meskipun  dengan lingkungan yang sama. Sebaliknya lingkungan yang berbeda akan memungkinkan timbulnya perbedaan individu dalam hal kepentingan  meskipun pembawaan yang sama.

F. PEMBAHASAN
            Dengan lahirnya UU Otonomi Daerah  telah membawa kemajuan  berarti yang signifikan terutama dalam mengggesa pembangunan di daerah. Hal ini juga berdampak pada sektor lainnya kerena  daerah oleh kepala daerha diberikan wewenang penuh dalam mengurus daerahnya masing-masing. Namun seperti yang diulas sebelumnya bahwa hal ini juga telah berakibat negatif terutama dalam tigkah laku sosial.
            Otonomi di Riau layaknya daerah lain telah berjalan, namun seperti daerah lain juga nilai-nilai sosial selalu mengganjal. Riau salah satu daerah penyumbang PAD yang besar untuk negara yakni dari migas atau minyak bumi, sehingga Riau pun mendapatkan APBD yang lumayan menggiurkan dalam rangka percepatan pembangunan.
            Di Riau kentara kali keganjilan-keganjilan perilaku sosial akibat diberlakukannya  UU Otonomi daerah, seperti   fanatisme kemelayuan yang kental, sehingga suku melayu terlalu dianggap raja didaerah ini. akibatnya suku-suku lain  seperti dikucilkan. Akibat yang patal lagi kantong-kantong korupsi semakin menganga menjalar bahkan mengakar. Hal ini terlihat pula  pada bukti nyata bahwa sudah banyak yang menjadi tersangka korupsi  atas penyalahgunaan anggaran dan kebijakan oleh perintah setempat.
            Penyebab utama dari munculnya perilaku sosial  dari otonomi daerah terlihat pada gejala diantaranya
1.  Kurangnya pemahamn tentang konsep UU otonomi daerah
2.  Tingkat pendidikan pejabat dan pemerintah
3.  Tingkat pemahamn masyarakat  awam
4. Saratnya pemahaman tentang issue  daerah dan fanatisme
5. Fluralisme dan bentuk masyarakat yang heterogen
6. Tingkat sosial (etnis) dan latar belakang pendidikan serta ekonomi
            Secara umum dapat dilihat pada perilaku sosial yang selalu terjadi di derah saat ini terutama di Riau. Identitas daerah akan selalu muncul dalam setiap perkembangan masyarakat di mana ketika masyarakat tersebut merasa sebagai bagian dari komunitas yang memiliki rasa tanggung jawab kepada apa yang telah menjadi bagian dari daerah mereka di mana mereka tinggal atau dilahirkan secara turun-temurun di suatu daerah. Identitas seperti apa yang dikatakan Retheran dan Phinney dalam Agustino (2007:65), identitas adalah rasa memiliki dari seseorang kepada sebuah kelompok tertentu, dan bagian dari pemikiran, persepsi, perasaan dan sikap seseorang yang merupakan kewajiban bagi keanggotaan kelompok etnis. Dapat di lihat, adanya wacana identitas daerah dalam pelaksanaan pemerintahan daerah ketika terjadinya pengisian jabatan dalam Birokrasi, penerimaan Pegawai dan Pilkada Langsung, hal tersebut secara langsung telah memunculkan isu anak daerah maupun masyarakat atau anak asli daerah. Dari hal-hal tersebutlah telah membuat terjadinya penguatan identitas kedaerahan terutama identitas etnis yang muncul ketika adanya penempatan sumberdaya maupun perebutan sumberdaya dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama daerah yang mesyarakatnya majemuk.
Kemudian, Gidens (1991), menjelaskan bahwa identitas terbangun oleh kemampuan melanggengkan narasi tentang diri, sehingga terbangun suatu perasaan terus menerus tentang kontinuitas biografis. Untuk itu dapat dilihat bahwa identitas merupakan bagian dari simbol jati diri setiap individu maupun kelompok. Dari teori tersebut peran identitas bisa juga merupakan bagian tindakan yang berhubungan dengan tindakan politis dalam mengedepankan kepentingan-kepentingan individu maupun kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan etnis, suku, ras dan agama serta memiliki kesamaan karakteristik atau kedaerahan.
Dari itulah bisa dikatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah selama beberapa tahun terakhir ini telah tergambar jelas bahwa otonomi daerah memunculkan identitas daerah dalam bentuk fanatisme etnis. Dari munculnya berbagai macam identitas dalam berbagai fenomena otonomi daerah secara langsung telah terciptnya kemajemukan yang secara alami terbentuk dan terjadi dalam masyarakat, bahkan secara langsung telah membentuk karaktersitik masyarakat di daerah yang kemudian menjadi pembeda diantara satu dengan yang lainnya.
Dalam ranah lokal gambaran kehidupan sosial-budaya senantiasa akan berimplikasi terhadap praktik politik dan demokratisasi di daerah yang tak bisa lepas dari berbagai praktik pelaksanaan pemerintahan daerah seperti yang disebutkan diatas tadi yakni ketika adanya penempatan sumber daya atau perebutan sumber daya seperti penempatan jabatan Birokrasi, penerimaan pegawai dan yang paling menonjol adalah ketika pelaksanaan Pilkada langsung. Oleh karena itu dapat dikatakan menguatnya identitas daerah karena adanya kompetisi atau perebutan berbagai sumber daya kekuasaan yang terjadi diantara idividu atau dalam kelompok.
Identitas daerah akan selalu muncul dalam kelompok maupun individu dengan menonjolkan perbedaan etnis karena warna kultur selalu melekat dalam ruang dan waktu di mana masyarakat itu berada, hal ini akan selalu melekat meskipun ada yang tinggal dalam satu kelompok maupun yang tinggal berbaur dengan kelompok lainnya. Ini menunjukan bahwa identitas etnis masih menjadi simbol dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dimana masyarakata itu berada. Menurut Ubed (2002:75), Etnisitas merupakan kategori-kategori yang diterapkan pada kelompok atau kumpulan orang, yang dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan atau kolektivitas. Ikatan-ikatan etnis terwujud dalam kumpulan orang, kelengkapan-kelengkapan primordial seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat, dan atau kepercayaan, yang dibebankan atas setiap anggota yang dilahirkan dalam kelompok tersebut.
Perbedaan akan selalu muncul sebagai akibat dari bentuk kultur yang berlainan. Untuk itulah apa yang terjadi dalam perkembangan otonomi daerah sekarang ini dengan adanya penguatan identitas kedaerahan hal tersebut tidak perlu dikawatirkan dan dipermasalahkan, selama praktik semacam ini dapat mendorong terlaksananya proses pembangunan dan demokrasi serta dapat mengakomodir kemajemukan dalam suatu daerah otonom. Agustino (2007:65) lebih arif menjelasakan, identitas yang dilihat secara arif dan bijaksana semestinya menempatkan perbedaan sebagai kekayaan bukan sebagai lawan identitasnya. Dari itulah tentang apa yang terjadi dalam pelaksanaan pemerintah Daerah sekarang ini, ketika adanya wacana maupun isu idintitas daerah yang muncul dalam pelaksanaannya merupakan satu hal yang lumrah dalam proses perkembangan daerah karena apa yang terjadi ketika munculnya atau menguatnya identitas kedaerahan merupakan satu hal yang lumrah karena hal tersebut merupakan bagian dari dampak pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk.
Upaya yang dapat dilakukan agar pemahan tentang otonomi daerah di mengerti, antara lain tentunya
1.  Konsep Otomi daerah dipahami secara arif oleh segenap masyarakat
2. Meningkatkan status pendidikan bagi pejabat dengan dibekali stara disiplin ilmu
yang dapat dipertanggung jawabkan.
3.  Masyarat juga di giatkan dan diberikan tentang pemahaman pentingnya pendidikan
4.  Kesampingkan issu  fanatisme daerah agar kebersamaan selalu dibangun
5. Memandang fliuralisme sebagai salah satu asset kekayaan daerah,  kedepankan kebersamaan  dan kesampingkan perbedaan
6. Jangan memandang strata sosial dan mengecilakn serta membedakan tingkat pendidikan, tetapi berikan pemahaman bahwa pendidikan itu sangat urgen.

G. PENUTUP
1. Kesimpulan
a.  Otonomi Daerah  merupakan kewenangan daerah dalam mengelola daerahnya. Terjadi perubahan dan peningkatan secara signifikan, namun ternyata menimbulkan berbagai macam masalah, terutama ego masing-masing daerah
b. Terjadinya kesenjangan daerah dan pemahaman yang sempit terhadap daerah dikarenakan kurang memahami esensi otonomi daerah cera konfrehensif
c. Untuk menghindari perilaku sosial dikarenakan otonomi daerah, maka diperlukan upaya-upaya kongret seperti menimbulkan pemahaman bahwa persaudaraan itu penting lalu jauhkan pemahaman yang berujung pada perpecahan.
2. Saran
            Penulisan ini telah diselesaikan dengan baik, namun penulis menyadari   banyak kekurangannya. Oleh karena itu   kritikan dan saran  yang bersifat membangun  sangat diharapkan demi kesempurnaanya.  Semoga Allah   selalu  melindungi kita Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Daryanto, SS, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, Surabaya

Josef Riwu Kaho, MPA., Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Cet.10, Jakarta, 2010

Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta,  Edisi Revisi, Jakarta 2007


Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004, Edisi Terbaru,


Wahyu Ms, Wawasan Imu Sosial Dasar,  Usaha Nasional, Surabaya –Indonesia,

Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial , Cet. 1,Tiara Wacana, 1992.








[1] Dr. J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta,  Edisi Revisi, Jakarta 2007, hal. 16
[2] Drs, Wahyu Ms, Wawasan Imu Sosial Dasar,  Usaha Nasional, Surabaya –Indonesia, hal. 19
[3] Ibid, hal.  20
[4] Dr. Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial , Cet. 1,Tiara Wacana, 1992. hal 65
                        5. Daryanto, SS, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, Surabaya,  hal.451
[6] Ibid, hal. 151
[7] Drs. Josef Riwu Kaho, MPA., Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Cet.10, Jakarta, 2010, h.

              [8] Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004, Edisi Terbaru, h. 8
[10] .Drs. Wahyu Ms. Op Cit. hal.  149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar